Sabtu, 06 September 2008

Tradisi Besar yang Dilupakan

Bangsa Bahari
Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 5 September 2008

Jauh sebelum kedatangan orang-orang Eropa di perairan Nusantara pada paruh pertama abad XVI, pelaut-pelaut negeri ini telah menguasai laut dan tampil sebagai penjelajah samudra. Kronik China serta risalah-risalah musafir Arab dan Persia menorehkan catatan agung tentang tradisi besar kelautan nenek moyang bangsa Indonesia.

Serangkaian penelitian mutakhir yang dilakukan Robert Dick-Read (Penjelajah Bahari: Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika, 2008) bahkan memperlihatkan fenomena mengagumkan. Afrikanis dari London University ini, antara lain, menyoroti bagaimana peran pelaut-pelaut nomaden dari wilayah berbahasa Austronesia, yang kini bernama Indonesia, meninggalkan jejak peradaban yang cukup signifikan di sejumlah tempat di Afrika.

Para penjelajah laut dari Nusantara diperkirakan sudah menjejakkan kaki mereka di Benua Afrika melalui Madagaskar sejak masa-masa awal tarikh Masehi. Jauh lebih awal daripada bangsa Eropa mengenal Afrika selain Gurun Sahara-nya dan jauh sebelum bangsa Arab dan Zhirazi dengan perahu dhow mereka menemukan kota-kota eksotis di Afrika, seperti Kilwa, Lamu, dan Zanzibar.

”Meskipun (para pelaut Nusantara) tidak meninggalkan catatan dan bukti-bukti konkret mengenai perjalanan mereka, sisa-sisa peninggalan mereka di Afrika jauh lebih banyak daripada yang diketahui secara umum,” tulis Dick-Read pada pengantar buku terbarunya.

Catatan hasil penelitian Dick-Read kian memperkaya khazanah literatur tentang peran pelaut-pelaut Indonesia pada masa lampau. Bukti-bukti mutakhir tentang penjelajahan pelaut Indonesia pada abad ke-5 yang dibentangkan Dick-Read makin mempertegas pandangan selama ini bahwa sejak lebih dari 1.500 tahun lampau nenek moyang bangsa Indonesia adalah pelaut sejati.

Jauh sebelum Cheng Ho dan Columbus membuat sejarah pelayaran mereka yang fenomenal, para penjelajah laut Nusantara bisa dikatakan sudah melintasi sepertiga bola dunia. Meskipun sejak 500 tahun sebelum Masehi orang-orang China sudah mengembangkan beragam jenis kapal dalam berbagai ukuran, hingga abad VII kecil sekali peran kapal China dalam pelayaran laut lepas.

Jung-jung China lebih banyak melayani angkutan sungai dan pantai.

Tentang hal ini, Oliver W Wolters (1967) mencatat bahwa dalam hal hubungan perdagangan melalui laut antara Indonesia dan China—juga antara China dan India Selatan serta Persia—pada abad V-VII, terdapat indikasi bahwa bangsa China hanya mengenal pengiriman barang oleh bangsa Indonesia.

I-Tsing, pengelana dari China yang banyak menyumbang informasi terkait masa sejarah awal Nusantara, secara eksplisit mengakui peran pelaut-pelaut Indonesia. Dalam catatan perjalanan keagamaan I-Tsing (671-695 Masehi) dari Kanton ke Perguruan Nalanda di India Selatan disebutkan bahwa ia menggunakan kapal Sriwijaya, negeri yang ketika itu menguasai lalu lintas pelayaran di ”Laut Selatan”.

Dengan kata lain, arus perdagangan barang dan jasa menjelang akhir milenium pertama di ”jalur sutra” melalui laut— meminjam istilah arkeolog Hasan Muarif Ambary (alm)—sangat bergantung pada peran pelaut-pelaut Indonesia. Tesis Dick-Read bahkan lebih jauh lagi, bahwa pada awal milenium pertama kapal-kapal Kun Lun (baca: Indonesia) sudah ikut terlibat dalam perdagangan di Mediterania.

Masyarakat bahari

Denys Lombard (Nusa Jawa: Silang Budaya, Jilid 2), mengidentifikasikannya sebagai orang-orang laut, sedangkan Dick-Read merujuk ke sumber yang lebih spesifik: orang-orang Bajo atau Bajau. Mereka ini semula berdiam di kawasan Selat Melaka, terutama di sekitar Johor saat ini, sebelum akhirnya menyebar ke berbagai penjuru Nusantara, dan pada sekitar abad XIV sebagian besar bermukim di wilayah timur Indonesia.

Peran yang dimainkan para pelaut Indonesia pada masa silam tersebut terus berlanjut hingga kedatangan orang-orang Eropa di Nusantara. Para penjelajah laut dan pengelana samudra inilah yang membentuk apa yang disebut Adrian B Lapian, ahli sejarah maritim pertama Indonesia, sebagai jaringan hubungan masyarakat bahari di Tanah Air.

Anthony Reid (Sejarah Modern Awal Asia Tenggara, 2004) menyebut kelompok masyarakat berbahasa Austronesia ini sebagai perintis yang merajut kepulauan di Asia Tenggara ke dalam sistem perdagangan global.

Akan tetapi, pada abad XVIII masyarakat Nusantara dengan budaya maritimnya yang kental itu mengalami kemunduran. Monopoli perdagangan dan pelayaran yang diberlakukan pemerintahan kolonial Belanda, walau tidak mematikan, sangat membatasi ruang gerak kapal-kapal pelaut Indonesia.

Ironisnya, setelah 68 tahun Indonesia merdeka, setelah PBB mengakui Deklarasi Djoeanda (1957) bahwa Indonesia adalah negara kepulauan, tradisi besar itu masih saja dilupakan.

Kini, kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat nelayan dijumpai di banyak tempat, sementara di sisi lain, kekayaan laut kita terus dikuras entah oleh siapa.... (KEN)

[ Kembali ]

Jumat, 05 September 2008

Sriwijaya Sang Pemula

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 5 September 2008

”... berlayar tidak lebih 20 hari dari Kanton ke Fo-shi (San-fo-tsi), singgah di sana selama enam bulan untuk mempelajari tata bahasa Sanskerta dan Mahayana, kemudian pergi ke India Tengah dengan kapal Sriwijaya..." (I-Tsing, 671-695 Masehi)

Perahu sudah ditambatkan. Kaki-kaki kecil anak-anak desa itu begitu lincah menapaki kayu-kayu gelondongan berdiameter 30-40 cm yang bergeletakan di bibir sungai. Di depan, bekas hutan ulin dan tembesu yang sudah berubah jadi semak belukar menyerkap pandangan.

idampingi Husin (69) sebagai penunjuk jalan, Nurhadi Rangkuti masih saja asyik menyimak setiap detail cerita Husin tentang tempat yang ia datangi. Sebuah kawasan lahan basah di pantai timur Sumatera Selatan, bagian dari gugus daerah aliran Sungai Musi yang bermuara ke Selat Bangka, tempat para arkeolog dari Balai Arkeologi Palembang melakukan serangkaian penelitian sejak beberapa tahun terakhir.

”Inilah tempat yang dinamakan kapal itu. Menurut cerita orang-orang tua dulu, entah berapa abad lampau, konon kapal milik juragan Dempu Awang kandas dan akhirnya terkubur di sini,” kata Husin (67) begitu tiba di lokasi yang dituju.

Nurhadi sejurus tercenung. Senyumnya menghilang. Kisah Husin—yang kerap bercampur dongeng dan mitos tentang sebuah kapal kuno yang telah berabad-abad terkubur tanah berlumpur—tampak tidak lagi menarik perhatiannya.

Di sisi utara pokok pohon tembesu yang hanya tinggal bonggolnya, sebuah lubang besar bekas galian menganga. Tak pelak lagi, di lokasi yang dikabarkan pernah ditemukan mangkuk keramik dan tempayan dari Dinasti Yuan (1279-1368) tersebut, ternyata aktivitas penggalian liar oleh para pencari harta karun diam-diam masih terjadi.

Tradisi Asia Tenggara

Bagi kalangan arkeolog seperti Nurhadi, informasi menyangkut keberadaan ”bangkai” kapal kuno di pesisir pantai timur Sumatera Selatan—juga Pulau Bangka, terutama di Bangka selatan, dan wilayah Jambi—selalu menarik perhatian.

Dalam konteks keberadaan Sriwijaya (abad VII-XIII) sebagai kerajaan maritim pertama yang menguasai laut Nusantara, khususnya di bagian barat hingga tanah Semenanjung, ”bangkai-bangkai” kapal kuno itu bisa jadi bukti penguat. Paralel dengan isi kronik-kronik China serta risalah para musafir Arab dan Persia yang sebelumnya menjadi satu-satunya sumber acuan tentang kebesaran Sriwijaya sebagai penguasa ”Laut Selatan”.

Sejak paruh kedua 1980-an, di wilayah Sumatera Selatan saja sudah ditemukan sejumlah situs terkait keberadaan kapal dan atau perahu kuno. Dari situs Samirejo di Kecamatan Mariana, Banyuasin (sekitar 14 kilometer timur laut Palembang), misalnya, didapati sisa-sisa perahu kuno dari masa 610-775 Masehi. Pertanggalan itu diperoleh dari uji karbon (C-14) atas sisa-sisa bagian perahu, yang sewaktu ditemukan terkubur di rawa, terdiri atas sembilan papan kayu dan sebuah kemudi sepanjang 23 meter, beserta serpihan tali ijuk (Arrenga pinnata).

Berdasarkan teknik rancang bangunnya, hasil rekonstruksi yang dilakukan Pierre-Yves Manguin—ahli arkeologi maritim dari EFEO (Lembaga Penelitian Perancis untuk Timur Jauh)—menunjukkan bahwa perahu kuno dari Samirejo menggunakan apa yang ia sebut teknologi tradisi pembuatan perahu Asia Tenggara. Teknik yang sama juga terlihat pada temuan sisa-sisa perahu kuno di situs Kolam Pinisi dan Sungai Buah (Palembang), Tulung Selapan (Ogan Komering Ilir), Karangagung Tengah (Musi Banyuasin), serta Lambur (Jambi) dan Kota Kapur (Bangka).

Berbeda dengan teknologi perahu kuno model China, di mana lambung perahu dikencangkan dengan bilah-bilah kayu dan paku besi pada kerangka dan dinding penyekat, pada tradisi perahu Asia Tenggara menggunakan apa yang disebut teknik papan-ikat dan kupingan-pengikat (sewn- plank and lashed-lug technique). Teknik rancang bangun perahu seperti ini, menurut Manguin, hanya berkembang di perairan Asia Tenggara.

Tonjolan segi empat (tambuku) digunakan untuk mengikat papan-papan dan mengikat papan dengan gading-gading. Pengikatnya berupa tali ijuk yang dimasukkan pada lubang di tambuku. Untuk memperkuat ikatan tali ijuk digunakan pasak kayu.

Teknik pembuatan perahu jenis ini diperkirakan sudah ada sejak masa awal Masehi. Bukti tertua penggunaan teknik ini dijumpai pada sisa perahu kuno di situs Kuala Pontian di Tanah Semenanjung, yang berasal dari abad III-V Masehi.

Sangat boleh jadi, ketika Dapunta Hyang Sri Jayanasa melakukan perjalanan suci (mangalap siddhayatra) untuk mencari tempat mendirikan wanua (perkampungan) sebagai cikal bakal pusat Sriwijaya, perahu jenis inilah yang ia gunakan bersama ”... dua laksa tentara dan 200 peti perbekalan”-nya. Fragmen perjalanan suci yang berakhir pada pendirian wanua di lokasi Palembang sekarang itu ditorehkan pada prasasti Kedukan Bukit bertarikh 16 Juni 682 Masehi.

Penguasa laut Nusantara

Naik kapal Sriwijaya! Begitulah pengakuan I-Tsing, pengelana dari daratan Tiongkok, yang dalam perjalanan religiusnya dari Kanton ke India menggunakan armada kapal Sriwijaya. Dalam perjalanan pulang dari Nalanda (India) ke Kanton, I-Tsing bahkan sempat menetap empat tahun di pusat Kerajaan Sriwijaya.

Dalam salah satu kronik China yang diterjemahkan J Takakusu (A Record of the Buddhist Relegion as Practised in India and the Malay Archipelago, 1896), I-Tsing beberapa kali menyebut nama San-fo-tsi (mula-mula disebutnya Che-li-fo-tsi) sebagai penguasa lalu lintas perdagangan di Selat Melaka. Nama Che-li-fo-tsi dan San-fo-tsi itu sendiri digunakan oleh Dinasti Sung (960-1279) dan Yuan (1279-1368), juga Ming (1368-1644), untuk merujuk ke sebuah kerajaan di ”Laut Selatan” yang terletak antara Chen-la (Kamboja) dan She-po (Jawa), yakni Sriwijaya!

Dalam pengelanaannya (671-695) mencari ”pohon pencerahan” hingga ke India tersebut, I-Tsing mencatat bahwa Sriwijaya adalah kerajaan penting di bidang maritim, perdagangan, dan penyebaran agama (Buddha). Kebesaran penguasa ”Laut Selatan” ini tidak hanya dipicu runtuhnya Kerajaan Funan di Indocina, tetapi juga berkat politik bertetangga baik dan didukung armada laut yang besar.

Robert Dick-Read (Penjelajah Bahari: Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika, 2008) menyebutnya sebagai kepiawaian Sriwijaya membentuk aliansi yang kuat. Untuk menjaga wilayah kekuasaannya yang sangat strategis itu, Sriwijaya juga membentuk semacam angkatan laut yang terorganisasi dengan baik.

Mengutip OW Wolters, Dick- Read menambahkan, ”... dari ibu kotanya Palembang di tepi Sungai Musi, tampaknya Sriwijaya telah membangun Angkatan Laut Kerajaan yang terdiri dari para pelaut nomaden. Pada akhir abad ke-7, angkatan laut tersebut telah mendominasi jalur perniagaan laut melalui Asia Tenggara.”

Tak bisa dimungkiri, Sriwijaya adalah kerajaan yang lahir dan dibesarkan oleh dan berkat kekuatannya menguasai laut Nusantara. Bahkan, pada akhir masa kejayaannya pun, pada sekitar abad XIII-XIV, kronik China dari Dinasti Yuan dan Ming masih mengakui eksistensi Sriwijaya sebagai penguasa lalu lintas perdagangan di ”Laut Selatan”.

”Pelabuhannya memakai rantai besi. Ibu kotanya terletak di tepi air (sungai), (dan) penduduknya terpencar di luar kota atau tinggal di atas rakit-rakit yang beratap ilalang,” begitu antara lain laporan Chau Ju Kua—pengelana laut lainnya dari China—tentang Sriwijaya pada 1225 Masehi (F Hirth dan WW Rockhill, 1967).

Wilayah kekuasaan Sriwijaya tak hanya terbatas di jalur lalu lintas perdagangan di Selat Melaka dan Laut Jawa. Sebagai penguasa laut Nusantara, ia juga menanamkan pengaruh hingga ke Madagaskar. Gabriel Ferrand (L’Empire Sumatranais Crivijaya, 1922) bahkan menyimpulkan bahwa nenek moyang bangsa Malagasi adalah orang-orang yang datang dari Sriwijaya. Sebab, kata Ferrand, ”Hanya Sriwijaya yang memiliki pengetahuan kelautan yang andal untuk dapat mencapai Madagaskar.”

Bisa dipahami bila pada masa itu kapal-kapal Sriwijaya memainkan peran penting dalam ”perdagangan global”. Manguin memperkirakan, armada laut Sriwijaya yang dipakai—baik sebagai kekuatan ’militer’ maupun berniaga—ketika itu mampu mengangkut barang 450-650 ton. Bahkan, dalam perkembangan berikutnya, dengan panjang kapal mencapai 60 meter, daya angkutnya pun bertambah hingga 1.000 ton.

Di balik ”tradisi besar” yang sudah ditorehkan Sriwijaya sebagai penguasa laut pertama di Nusantara, hal lain yang harus dicatat adalah bahwa kebesaran itu tidak berdiri sendiri, juga tidak muncul secara tiba-tiba.

Di balik itu semua, meminjam ungkapan Denys Lombard, ada masyarakat heterogen yang mendukungnya. Mereka itu adalah para nelayan, pelaut, pengangkut, pedagang, petualang, bahkan para lanun alias perompak sekalipun. Mereka inilah, kata Lombard (Nusa Jawa; Silang Budaya, Jilid 2: 87-88), ”... yang merentangkan jaringan-jaringan tua yang menjadi tumpuan kesatuan Indonesia dewasa ini.”

Namun, ’tradisi besar’ yang terus berlanjut hingga kedatangan kekuatan kolonial itu kini tinggal dalam catatan sejarah. Lebih-lebih ketika pemerintahan kolonial Belanda menjadi semacam ”penguasa tunggal” laut Nusantara, dan akses pelaut-pelaut di kawasan ini dibatasi, kekuatan kerajaan-kerajaan maritim pun surut.

Sejak itu pula, untuk mempertahankan hegemoni kekuasaan mereka, pusat-pusat kerajaan—terutama di Jawa—kemudian berpaling ke darat. Tradisi besar sebagai bangsa bahari yang diawali Sriwijaya pun jatuh ke titik nadir. Hingga kini! (wad/ken)

[ Kembali ]

Sepucuk Nipah Serumpun Nibung

NURHADI RANGKUTI / Kompas Images
Sisa-sisa tiang rumah kuno dari nibung di Situs Air Sugihan.

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 5 September 2008
Oleh
NURHADI RANGKUTI

Tiba di Muara Sabak, perahu-perahu ketek sudah menunggu mengantar penumpang menyeberang ke Delta Batanghari. Delta ini terbentuk oleh aliran Sungai Nyiur dan Berbak, cabang Sungai Batanghari. Daerah rawa pasang surut dan bergambut itu berulang kali disambangi tim arkeologi untuk ”mengais” artefak-artefak peradaban kuno yang tersisa. Letaknya di Kecamatan Muara Sabak, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi.

elta Batanghari dialiri oleh sungai-sungai kecil, antara lain Sungai Pemusiran, Sungai Simbur Naik, Sungai Siau, dan Lambur. Beberapa bagian tubuh sungai kini tinggal alur, demikian penduduk menyebut aliran sungai yang telah mati. Justru pada alur-alur itu para arkeolog banyak menemukan situs arkeologi.

Junus Satrio Atmodjo, arkeolog yang meneliti situs-situs arkeologi di Delta Batanghari sejak tahun 1990-an, mengamati kedekatan jarak antarsitus yang mencerminkan kedekatan hubungan antarpermukiman kuno itu. Penemuan artefak-artefak, macam keramik asing, kaca kuno, dan tembikar, dalam jumlah besar pada situs-situs arkeologi menggambarkan padatnya penduduk yang tinggal di daerah lahan basah itu pada abad X-XIII Masehi. Sisa-sisa permukiman kuno yang padat mengelompok di kawasan Lambur (Lambur Luar dan Lambur Dalam) dan Pemusiran Dalam (Sitihawa).

Para arkeolog juga menemukan batang-batang pohon nibung (Oncosperma filamentosa) di antara sebaran artefak. Bagian bawah batang nibung tampak dipangkas runcing. Ternyata batang-batang nibung telah dimanfaatkan masyarakat kuno untuk tiang bangunan rumah panggung di daerah rawa pasang surut.

Rumah panggung

Batang-batang nibung untuk bangunan rumah panggung kuno tidak hanya terdapat di Delta Batanghari. Para arkeolog mencatat, sisa-sisa bangunan kuno bertiang nibung terdapat juga di Kecamatan Nipah Panjang, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, sampai ke wilayah pantai timur Sumatera Selatan.

Di kawasan Situs Karangagung Tengah, Kecamatan Lalan, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, batang nibung digunakan bersama dengan jenis kayu keras, semacam meranti dan medang. Batang-batang nibung ini diperkirakan berfungsi sebagai tiang penyangga lantai beranda rumah, kerangka tangga masuk rumah, atau tiang-tiang penyangga jalan atau jembatan (jerambah) antarrumah.

Situs Karangagung Tengah dikenal sebagai situs permukiman dari abad IV Masehi, sebelum Sriwijaya muncul di Sumatera. Sisa-sisa hunian kuno itu juga mengelompok di sepanjang alur atau bekas aliran sungai kecil.

Penggunaan batang nibung dijumpai pula di kawasan Air Sugihan (Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan). Pada tahun 2007, Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional melakukan penggalian arkeologi di Kertamukti1 Air Sugihan pada lahan bekas sungai kecil dan rawa yang terletak di daerah permukiman transmigrasi.

Dalam ekskavasi ditemukan sisa-sisa bangunan rumah panggung bertiang nibung. Selain itu, ditemukan pula tali ijuk (Arrenga pinnata), pecahan-pecahan tembikar dan keramik China, manik-manik, sudip dari kayu, dan fosil kayu. Di kawasan Air Sugihan, keramik dari China yang paling banyak ditemukan berasal dari abad IX-X Masehi, pada masa Dinasti Tang dan Sung.

Pada masa sekarang, penduduk yang tinggal di daerah rawa pasang surut yang relatif dekat dengan pantai masih banyak menempati rumah panggung bertiang nibung. Jenis tumbuhan ini biasanya terdapat pada hutan mangrove. Selain nibung, lingkungan semacam itu juga menyediakan nipah yang berlimpah. Daun nipah digunakan untuk atap rumah dan atap perahu kajang.

Pada daerah rawa lebak yang letaknya jauh dari pantai, rumah-rumah panggung tidak menggunakan batang nibung dan atap nipah. Pengamatan di hulu Sungai Lalan di wilayah Kecamatan Bayung Lincir, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan—sebutlah seperti Desa Bakung, Muara Merang, Muara Medak, Sentang, Pejudian, Bayung Lencir, Mangsang, Muara Bahar, Bayat Ilir, Simpang Bayat, dan Pagardesa—rumah-rumah panggung seluruhnya menggunakan jenis-jenis kayu keras, seperti tembesu, petaling, dan medang. Daun nipah untuk atap rumah diganti dengan daun serdang.

Perahu

Setelah beberapa hari melacak alur-alur di Delta Batanghari, akhirnya tim arkeologi menelusuri Sungai Simburnaik dengan perahu ketek sampai ke pantai. Perahu memang alat transportasi utama di daerah lahan basah sejak dulu. Papan-papan perahu kuno telah ditemukan di Lambur Luar Parit 6, beberapa tahun yang lalu.

Papan-papan perahu kuno ini memiliki lubang-lubang yang terdapat di bagian permukaan dan sisi papan serta lubang-lubang pada tonjolan segi empat yang menembus lubang di sisi papan. Inilah teknik rancang bangun perahu dengan teknik papan ikat dan kupingan pengikat (sewn-plank and lushed-plug technique), tradisi Asia Tenggara. Tonjolan segi empat atau tambuku digunakan untuk mengikat papan-papan dan mengikat papan dengan gading-gading dengan menggunakan tali ijuk. Tali ijuk dimasukkan pada lubang di tambuku. Biasanya, penggunaan pasak kayu untuk memperkuat ikatan tali ijuk.

Teknologi perahu semacam itu umum ditemukan di daerah lahan basah pantai timur Sumatera. Di wilayah Sumatera Selatan, bangkai perahu ditemukan di situs Samirejo, Mariana (Kabupaten Banyuasin), Situs Kolam Pinisi (Palembang), dan di Situs Tulung Selapan (Kabupaten Ogan Komering Ilir). Papan-papan perahu dari Situs Samirejo dan Situs Kolam Pinisi telah dianalisis laboratorium dengan menggunakan metode carbon dating C14. Sepotong papan dari situs Kolam Pinisi menghasilkan pertanggalan kalibrasi antara 434 dan 631 Masehi, sedangkan papan dari situs Samirejo berasal dari masa antara 610 dan 775 Masehi (Lucas Partanda Koestoro, 1993).

Selama menelusuri sungai yang berliku, masih tampak pohon-pohon nipah yang tumbuh bergerombol. Sebaliknya, tak sebatang nibung pun yang kelihatan. Sulitnya mencari pohon nibung tidak hanya di Delta Batanghari. Di daerah rawa pasang surut Sumatera Selatan kini pohon-pohon nibung menjadi pemandangan yang langka.

Kondisi lingkungan daerah lahan basah di pantai timur Sumatera memang telah lama rusak. Rawa pasang surut sebagian besar telah direklamasi untuk permukiman dan perkebunan. Hutan-hutan dataran rendah hampir tidak tersisa lagi akibat banyak orang berburu kayu.

Seribu tahun lalu, pantai timur Sumatera menjadi pusat permukiman dan perniagaan. Terkenal sampai ke negeri China. Penduduknya hidup sejahtera melalui perniagaan hasil hutan, seperti damar dan kemenyan. Rumah dan perahu pada masa itu mencerminkan keselarasan manusia dan alam.

Sepucuk Nipah Serumpun Nibung. Demikian ungkapan jati diri Kabupaten Tanjung Jabung Timur di Jambi. Ungkapan itu bisa juga dijadikan inspirasi guna melestarikan lingkungan lahan basah beserta warisan budaya yang ada di dalamnya.

Nurhadi Rangkuti Kepala Balai Arkeologi Palembang

[ Kembali ]

"Laut yang Ditaburi Sekumpulan Pulau"

KOMPAS/FERRY SANTOSO / Kompas Images
Kepulauan Anambas di Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, merupakan wilayah kepulauan yang masih sulit dijangkau karena kondisinya cukup terisolasi dengan lautan luas. Transportasi penduduk dengan kapal-kapal kecil hanya terbatas pada wilayah pulau-pulau yang berdekatan.

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 5 September 2008

Agak mengejutkan ketika pemerintah—melalui Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi—menyatakan bahwa sedikitnya 6.702 pulau di Indonesia yang belum bernama. Lebih mengejutkan lagi, jumlah pulau yang dimiliki Indonesia tampaknya tidak sebanyak seperti yang selama ini didengung-dengungkan, yakni 17.508 buah!

Hasil verifikasi oleh tim yang dibentuk lewat Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2006 tersebut, hingga akhir Juni 2008 baru tercatat 8.172 pulau dari 25 provinsi yang telah disurvei. Meski masih delapan provinsi lagi yang belum didata, dipastikan jumlah pulau yang dimiliki Indonesia sesungguhnya tak sebanyak jumlah yang diyakini selama ini.

Pelajaran penting yang bisa ditarik dari kasus ini, tak pelak lagi, yakni suatu kenyataan bahwa selama ini kita sebagai bangsa abai pada kekayaan negerinya sendiri. Begitu banyak pulau tak bernama bukan saja mengindikasikan ketidakpedulian, tapi juga gambaran ketidaksiapan kita menjadi negara kepulauan yang sudah telanjur dideklarasikan pada 13 Desember 1957.

Sungguh memalukan! Untuk menentukan jumlah pulau yang merupakan hak milik bangsa ini saja kita seperti terkesan asal sebut. Sebelum dikoreksi menjadi 17.508 pulau pada tahun 1987, dalam waktu yang cukup lama (1968-1987) Indonesia mengklaim memiliki 13.667 pulau.

Hingga kini pun tak ada data pasti. Verifikasi terakhir, dengan penggunaan metodologi yang lebih bisa dipertanggugjawabkan, baru merujuk angka 8.172 pulau.

Sementara di sisi lain, cukup banyak pulau bernama ganda, baik yang ada di garis luar perairan Indonesia maupun di ”pedalaman”. Pulau Berhala, misalnya, setidaknya tercatat ada di tiga provinsi: Jambi. Riau, dan Sumatera Utara. Bahkan, nama yang sama juga dipakai untuk salah satu pulau di wilayah Malaysia.

Belum lagi pulau-pulau yang berada di wilayah ”pedalaman”. Penggunaan ”Batu” sebagai nama pulau ternyata digunakan di 12 provinsi. Di Nusa Tenggara Timur saja tercatat ada 10 pulau bernama Pulau Batu. Begitupun nama Pulau Burung yang tersebar di 17 provinsi. Di Provinsi Kepulauan Riau saja terdata 10 pulau dinamakan Pulau Burung.

Terlalu banyakkah jumlah pulau yang kita miliki sehingga begitu sulit mendatanya? Atau, begitu susahkah memberinya nama satu per satu, sesuai panduan penamaan pulau-pulau yang direkomendasikan United Nations Conference on the Standardization of Geographical Names (UNCSGN)-nya PBB?

Ataukah kenyataan ini lebih karena tak ada kesungguhan kita untuk memberi perhatian yang lebih serius pada pulau-pulau kecil dan terpencil itu? Padahal, kepastian letak dan jumlah pulau serta arti penting penamaannya terkait langsung dengan masalah kedaulatan bangsa.

Baru setelah Sipadan dan Ligitan harus hilang dari peta Indonesia pada tahun 2002, menyusul klaim Malaysia atas dua pulau itu dimenangkan oleh Mahkamah Internasional, banyak di antara anak bangsa ini seperti tersentak. Kasus Sipadan-Ligitan yang diikuti munculnya ”insiden” Ambalat, sebuah blok di dasar laut yang kaya akan sumber minyak dan gas, telah memberi pelajaran berharga pada Indonesia akan pentingnya memerhatikan ”hak milik”-nya.

”Kebetulan atau tidak, penentuan jumlah yang sesungguhnya dari pulau-pulau itu diharuskan untuk menegaskan kepemilikan bangsa Indonesia atas sebuah pulau. Kepemilikan itu sendiri harus ditegaskan dengan adanya penamaan dan penentuan koordinat di mana pulau itu berada,” kata Gusti Asnan dari Universitas Andalas dalam satu diskusi di Palembang, Juli 2008.

Bangsa maritim

Mata kuliah umum tentang wawasan Nusantara di perguruan tinggi pada semester-semester awal selalu menekankan bahwa laut berfungsi sebagai ”penghubung” dan bukan ”pemisah” antarpulau. Laut adalah pemersatu, mengintegrasikan ribuan pulau yang bertaburan di Nusantara.

Dalam perspektif ini, laut tidak saja dilihat sebagai jembatan yang menghubungkan antarwilayah geografis Indonesia. Laut juga ditempatkan sebagai unsur yang menyatukan aspek kebangsaan antarsuku dan etnis yang tinggal di dalamnya.

Dengan kata lain, secara geopolitik dan geobudaya, laut dan pulau adalah satu keniscayaan bagi Indonesia. Laut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dari daratan. Ungkapan ”Tanah Air” pun menjadi bagian dari proses pembentukan bangsa ini ”menjadi Indonesia”.

Kesadaran semacam itu sesungguhnya sudah muncul jauh sebelum Indonesia merdeka. Simaklah sajak-sajak Muhammad Yamin, terutama dalam Indonesia Tanah Airku.

Ungkapan ”Tanah Air”, yang dalam sajak-sajak Yamin semula sekadar merujuk pada kampung halamannya di pinggang Bukit Barisan di Sumatera Barat, dalam perkembangannya menjadi semacam kesadaran sejarah akan patriotisme keindonesiaannya. Puncak dari konsistensi pemikiran dan kesadaran Yamin tentang ”Tanah Air” itu, sebagaimana dikemukakan sejarawan Taufik Abdullah (lihat catatan pengantar Taufik Abdullah dalam buku Restu Gunawan, Muhammad Yamin dan Cita-cita Persatuan, 2005: xii-xiii), tertuang dalam salah satu butir Sumpah Pemuda 1928.

Lagi pula, bukankah Indonesia—lewat Deklarasi Djoeanda pada 13 Desember 1957—sudah menyatakan diri sebagai negara kepulauan dan bukan negara agraris? Makna dari konsep negara kepulauan (archipilagic state) pada hakikatnya juga menaungi wilayah laut yang ada di kawasan tersebut secara keseluruhan.

”Segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia… dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak daripada Negara Republik Indonesia,” demikian antara lain bunyi Deklarasi Djoeanda.

Melalui perjuangan diplomasi yang panjang, pada 10 Desember 1982 konsepsi negara kepulauan itu diterima dalam Konvensi Hukum Laut Internasional yang ditandatangani 117 negara. Diterimanya prinsip-prinsip negara kepulauan oleh PBB bukan saja menambah luas wilayah laut Indonesia, tetapi juga kekayaan sumber daya alam yang ada di dalamnya.

Semua itu tentunya menuntut perubahan paradigma pengelolaan negara. Sebagai negara kepulauan, selayaknya bila matra laut diletakkan sebagai ”poros utama” kehidupan berbangsa dan bernegara.

”Dengan cara pandang bahwa laut adalah yang penting bagi bangsa ini, maka laut adalah suatu sistem. Sistem laut tersusun dan merupakan suatu jaringan bagi terintegrasinya pulau-pulau,” kata Susanto Zuhdi, guru besar sejarah maritim dari Universitas Indonesia.

Dengan luas laut 5,8 juta kilometer persegi, termasuk zona ekonomi eksklusif (ZEE), potensi sumber daya perikanan saja mencapai 6,7 juta ton per tahun. Belum lagi potensi-potensi lain, seperti minyak dan gas bumi yang sedikitnya ada di 60 cekungan.

Akan tetapi, mengapa laut yang ditaburi pulau-pulau di-”dalam”-nya itu seperti sengaja ditelantarkan? Mengapa wawasan bangsa ini masih berorientasi pada daratan? Bukankah sejatinya makna archipelago adalah ”laut utama”, laut yang ada di antara Yunani dan Turki: Laut Aegean! Dengan begitu, kata Susanto Zuhdi, archipelagic state lebih cocok diterjemahkan sebagai negara kelautan atau negara maritim ketimbang pengertian archipelago yang sudah terdistorsi sebagai ”kepulauan”.

”Dengan mengembalikan makna dasarnya, bahwa archipelago adalah ’laut yang ditaburi sekumpulan pulau’ dan bukan ’sekumpulan pulau yang di keliling laut’, maka ’Tanah Air merupakan konsep yang komprehensif dalam memandang wilayah Indonesia,” tutur Susanto Zuhdi.

Ada rasa sedih tiap kali mendengar berbagai anekdot terkait keberadaan polisi perairan dan angkatan laut kita yang ’tak berdaya’ menghalau kegiatan pencurian ikan di perairan Indonesia. Kedaulatan kita sebagai bangsa seperti tergadai. Lebih sedih lagi mengetahui pangkal ”kekalahan” kita atas Malaysia dalam perebutan Sipadan dan Ligitan karena bangsa ini sebelumnya tidak peduli hak miliknya dengan membiarkan orang Malaysia mengembangkan kedua pulau tersebut.

Minimnya infrastruktur transportasi dan komunikasi kelautan serta kurangnya perhatian pada upaya pengembangan ekonomi masyarakat yang berbasis pada laut adalah sumber dari berbagai persoalan untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa bahari.

Masa lalu, yang diawali kejayaan Sriwijaya—dan diteruskan oleh Majapahit—sebagai penguasa laut Nusantara kini hanya tinggal dalam catatan sejarah. Sampai kapan bangsa ini terus berpaling dari laut? (wad/ken)

[ Kembali ]

Di Laut Kita Jaya?

KOMPAS/IWAN SETIYAWAN / Kompas Images
Kapal jenis parchim KRI Cut Nyak Dien mendemonstrasikan kemampuan meluncurkan roket antikapal selam pada peringatan HUT Ke-62 TNI AL di perairan Selat Madura, Jawa Timur, 5 Desember 2007. Sejumlah kapal perang milik TNI AL turut menunjukkan kemampuan manuver dan kesiapan dalam pertempuran laut.

Diunduh dari Harian KOMPAS, Jumat, 5 September 2008

Jalesveva Jayamahe. Semboyan Angkatan Laut Republik Indonesia ini sungguh menggetarkan: ”Di Laut Kita Jaya”!

Lupakan sejenak olok-olok ataupun cerita-cerita konyol terkait berbagai kasus ketidakmampuan kita menjaga laut Nusantara. Lupakan dulu bahwa 80 persen dari sekitar 7.000 kapal perikanan di laut Nusantara adalah milik asing meski dipasangi bendera Indonesia. Lupakan pula sejenak bahwa hanya 5 persen dari ekspor berbagai komoditas kita yang dilayani kapal domestik, sedangkan 95 persen lainnya oleh kapal-kapal asing.

Sebagai negara kepulauan (archipelagic state), yang dideklarasikan oleh Perdana Menteri Ir Djoeanda pada 13 Desember 1957 dan diterima PBB pada 1982, bukankah sudah sepantasnya bila mimpi sebagai penguasa laut itu bisa diwujudkan? Kalaupun hari ini belum jadi kenyataan, paling tidak impian itu bisa menjadi semacam doa.

Masih dalam suasana peringatan ulang tahun kemerdekaan RI seperti sekarang, ketika nilai-nilai patriotisme muncul dari lorong dan sudut-sudut jalan, mendengar semboyan bahwa ”Di Laut Kita Jaya” seharusnya menggugah kembali semangat bahari pada anak-anak bangsa ini. Ungkapan ”nenek moyangku orang pelaut”, seperti tertuang dalam salah satu bait lagu yang sangat terkenal itu, juga seharusnya tidak sekadar kata-kata kosong tanpa disertai kesadaran untuk mengelola laut Nusantara sebagai sumber hidup dan penghidupan bagi anak bangsa ini.

Namun, yang kerap dilupakan adalah kesadaran bahwa kejayaan tidak datang begitu saja hanya lantaran kita ditakdirkan sebagai bangsa yang memiliki wilayah laut begitu luas. Kejayaan itu mesti dibangun dan direbut. Bukan cuma slogan, apalagi sekadar semboyan yang dimitoskan.

Pertanyaannya, sudahkah bangsa ini mensyukuri karunia Tuhan itu dengan memberi perhatian lebih pada matra kelautan yang dimilikinya? Sudahkah laut ditempatkan sebagai yang utama, sesuatu yang penting, sehingga orientasi kita pun sebagai bangsa lebih diarahkan untuk menatap laut daripada daratan?

Tanpa harus membolak-balik statistik keuangan negara mengenai seberapa besar alokasi dana APBN untuk pembangunan kelautan, atau mengukur komitmen negara lewat aturan perundang- undangan yang diciptakannya sebagai pijakan bagi kebijakan kelautan, dengan gamblang pertanyaan-pertanyaan tadi sudah menemukan jawabannya sendiri.

Bahwa, setelah 63 tahun Indonesia merdeka, laut masih diabaikan. Perhatian pemerintah masih dan bahkan cenderung akan terus tersedot ke daratan. Sejauh ini laut baru dilihat sebatas potensi tidur.

”Ini pula yang menjadi faktor kecilnya perhatian terhadap matra laut bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Padahal, persoalan besar sebuah negeri dengan panjang pantai terpanjang kedua di dunia (setelah Kanada) bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia ini adalah bagaimana memelihara kedaulatan laut dan memanfaatkan potensinya seoptimal mungkin bagi kesejahteraan rakyat,” kata Susanto Zuhdi, guru besar sejarah (maritim) dari Universitas Indonesia.

Ditinggalkan

Tiap tanggal 21 Agustus, kalender peringatan hari-hari bersejarah bagi bangsa ini mencatatnya sebagai Hari Maritim. Akan tetapi, seberapa banyak warga-bangsa yang tahu dan peduli bahwa hari itu menandai awal penguasaan laut Nusantara oleh Indonesia yang direbut dari tangan Jepang?

Pada peringatan Hari Maritim 2008, beberapa waktu lalu, hampir tak ada berita di media massa—cetak maupun elektronik— nasional yang menyuarakannya. Perhatian lebih terfokus pada kisruh dunia perpolitikan, kasus aliran dana Bank Indonesia yang kian tak menentu ujungnya, melambungnya harga-harga bahan kebutuhan pokok, hingga gosip-gosip di sekitar kehidupan para selebritas.

Peringatan Hari Maritim pun berlalu tanpa catatan berarti. Laut baru ditoleh dan mendapat tempat dalam pemberitaan ketika ombak mengganas dan kisah tragis tenggelamnya kapal yang menelan banyak korban terjadi. Jangankan peringatan Hari Maritim, kisah heroik para penjelajah pulau-pulau terluar yang dimotori oleh Wanadri pun seperti tenggelam dalam hiruk-pikuk keseharian bangsa bahari yang masih berorientasi ke daratan ini.

Ironis? Memang! Tak berlebihan bila mantan Panglima Armada Barat TNI AL Djoko Sumaryono sampai pada kesimpulan, ”… harus jujur kita akui bahwa budaya maritim yang pernah kita miliki berabad-abad lalu telah lama kita tinggalkan.”

Akibatnya bukan saja laut Nusantara kehilangan kendali sepenuhnya oleh sang pemilik, kedaulatan bangsa pun kian terancam. Meski satu-dua kasus penangkapan kapal-kapal ikan asing yang beroperasi di perairan Nusantara sempat mencuat, sesungguhnya jauh lebih banyak yang bebas berkeliaran dalam aksi pencurian ikan di wilayah kedaulatan Indonesia.

Belum lagi berbagai kasus penyelundupan, perompakan, dan pelanggaran wilayah oleh kapal asing yang melintas tanpa izin. Semua itu mengindikasikan ketidakmampuan kita menjaga laut Nusantara. Berbagai potensi kerawanan itu secara tidak langsung ikut meruntuhkan wibawa Indonesia sebagai penguasa laut Nusantara di mata internasional.

Dengan luas wilayah laut mencapai 5,8 juta kilometer persegi, melingkupi pantai sepanjang 81.000 kilometer atau setara dua kali panjang khatulistiwa, bisa dipahami jika potensi kerawanan selalu muncul. Kondisi ini tentunya menuntut perhatian lebih, terutama bila mimpi untuk menjadi penguasa laut Nusantara benar-benar ingin diwujudkan.

Masalahnya, dihadapkan pada kenyataan ini, TNI AL sebagai garda terdepan pengamanan laut Nusantara yang begitu luas hanya memiliki kurang dari 150 kapal perang. Itu pun hanya sepertiganya yang berpatroli secara bergantian, sepertiga lagi dalam posisi siaga, dan sisanya dalam perawatan.

Bahkan, menurut catatan peneliti Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PMB-LIPI), Jaleswari Pramodhawardani (”Jalesveva Jayamahe”, Cuma Tinggal Mitos?, 2007), saat ini tinggal 40 persen alat utama sistem pertahanan (alutsista) milik TNI AL yang bisa dikatakan layak pakai. Dari 209 unit KAL (kapal patroli berukuran lebih kecil dibandingkan kapal perang), misalnya, yang dalam kondisi siap operasi tinggal 76 unit. Adapun dari 435 unit kendaraan tempur Marinir, hanya 157 unit dalam kondisi siap.

Keterbatasan itu masih dihadapkan pada kondisi di mana peralatan pertahanan yang dimiliki TNI AL tersebut rata-rata sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan teknologi. Sekadar contoh, Jaleswari menunjuk kondisi 79 buah KRI, kapal patroli, dan kapal pendukung yang layak pakai ternyata usia pakainya 20-40 tahun.

Jaleswari bahkan menambahkan, ”10 kapal pendukung (usia pakainya) telah lebih dari 40 tahun. Saat ini Marinir (malah) masih mempergunakan kendaraan tempur produksi tahun 1960-an, yang secara teknis telah sangat menurun efek penggetar dan pemukulnya.”

Dari paparan singkat tersebut, jelas bahwa kekuatan TNI AL sebagai penjaga laut Nusantara sangat tidak sebanding dengan wilayah laut yang harus mereka awasi. Itu baru satu hal. Sudah bukan rahasia lagi bila kekayaan laut Nusantara lebih banyak dinikmati oleh pihak asing.

Di sektor perikanan, misalnya, sebagaimana telah disinggung di awal tulisan ini, dari sekitar 6,7 juta ton ikan hasil tangkapan dari wilayah laut Indonesia per tahun, sebagian besar dinikmati pengusaha-pengusaha asing. Di luar hasil tangkapan yang dicuri nelayan-nelayan asing, 80 persen lebih dari sekitar 7.000 kapal penangkap ikan berizin operasi di perairan Nusantara milik pemodal dari luar yang diberi bendera Indonesia.

Kehadiran nelayan-nelayan asing bukan saja bentuk pelanggaran kedaulatan bangsa, tapi juga kian memarjinalkan posisi nelayan-nelayan domestik. Para nelayan kita terjepit.

Selain harus bersaing dengan nelayan asing yang ditopang permodalan kuat, nelayan-nelayan lokal juga harus menyiasati berbagai kesulitan akibat ketidakberpihakan pemerintah atas nasib mereka, termasuk di dalamnya dampak dari kenaikan harga bahan bakar minyak yang terus ”menggila” sejak beberapa tahun terakhir. Kearifan lokal yang mereka warisi juga ikut terdesak oleh penggunaan teknologi maju di bidang perikanan.

Bagaimana dengan transportasi laut untuk melayani aktivitas ekspor-impor? Ini jauh lebih mengerikan. Berbagai sumber menyebutkan, 95 persen arus bongkar-muat komoditas ekspor-impor dikuasai kapal-kapal asing. Bahkan, lebih dari 50 persen barang dagangan yang diantarpulaukan pun menggunakan jasa armada pelayaran asing berbendera ”Merah Putih”.

Apa boleh buat! Inilah sebagian dari ironi yang melingkupi sebuah negeri yang telah mengklaim diri sebagai negara kepulauan alias negara bahari. Keinginan untuk menjadi penguasa laut Nusantara yang sesungguhnya, sebuah negara maritim yang berorientasi kelautan, hingga sejauh ini tampaknya masih sebatas harapan.

Memang dibutuhkan keberanian untuk melakukan semacam reorientasi nilai. Paradigma negara konsentris yang bertumpu pada daratan mesti digeser—paling tidak dilakukan bertahap—ke pengembangan budaya maritim.

Jika tidak, semboyan Jalesveva Jayamahe-nya TNI AL bisa jadi hanya berhenti sebatas slogan sebagaimana kekhawatiran Jaleswari Pramodhawardani. Cuma tinggal mitos! (wad/ken)

[ Kembali ]